The Women

Minggu, 17 Juli 2011

Perempuan, makhluk ciptaan Tuhan yang lembut dan memiliki sejuta daya tarik. KeAnggunan dan ka Ayuannya mampu menggoyahkan dan meruntuhkan iman lawan jenisnya, juga dianggap sebagai tiang suatu negara. Tak heran jika banyak kaum kapitalisme yang memanfaatkanitu untuk dijadikan sebagai barang dagang.
Perempuan kini telah dianiayah oleh zaman, dibentuk menjadi sebuah
karakter yang lemah, dihegemoni dengan alasan trend dan modernisasi, menjadi sosok yang tak lagi memperdulikan moral maupun etika keperempuanan, dan tak sedikit pula perempuan yang menikmati penganiayaan itu secara tidak langsung. Sekedar dikatakan gaul dan mereka dengan bangga mengikuti semua hegemoni yang dilemparkan media.
Yang cantik adalah yang seksi pamer sana sini aurat. Ironis jika hal ini terus dibiarkan, perempuan harus mampu mengontrol dan memfilter segala jenis budaya baru yang mencoba masuk dan merubah paradigma masyarakat. Islam sebagai ideologi kita sangat melarang itu, dan jauh sebelumnya,budaya bugis-makassar telah mengajarkan tentang bagaimana memperlakukan perempuan. Misalnya mengkhususkan ruangan tengah di rumah untuk para perempuan sebagai bentuk menjaganya, bahkan dalam ritual pernikahan, laki-laki tidak boleh melihat perempuan sebelum ijab kabul. Adapun mengenai wilayah kerja antara laki-laki dengan perempuan lebih pada pembagian peran satu sama lain, misalnya perempuan di dapur, dan laki-laki yang keluar rumah mencari nafkah. Laki-laki yang senantiasa mengambil peran di luar karena sudah menjadi tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi istrinya, tanpa membatasi ruang gerak perempuan itu sendiri. Perempuan pun bisa mengambil peran-peran sosial, dan jauh sebelumnya dalam sejarah bugis-makassar telah ada beberapa tokoh perempuan, seperti Tumanurung ri Gowa,to manurung ri goarie (soppeng), we cuddai besse kajuara (ratu bone), colliq pujie (ratu pancana barru), opu daeng risaju (luwu), Hj.A.Ninnong (ranreng tuwa wajo), Hj.A. Depu (ratu balanipa Mandar).
Begitupun dalam tatanan nasional, telah banyak perempuan yang menjadi tokoh perempuan, seperti Nyi Ageng Serang, cut nyak dien dari aceh yang tak larut dalam kesedihan atas meninggalnya suaminya di medan perang, tapi bangkit dan melanjutkan perjuangan suaminya, begitupun dengan Dewi Sartika, atau yang paling banyak kenal RA. Kartini. Ini yang menjadi beberapa contoh bahwa perempuan itu bukanlah makhluk lemah yang hanya mampu bersembunyi dibalik kelembutannya. Perempuan juga bukan makhluk domestik yang keindahannya bisa dijual untuk kepentingan pasar. Seperti yang dicontohkanoleh seorang tokoh revolusi islam ayatullah khomaeni dalam memperlakukan istrinya yang memerdekakannya dalam setiap pekerjaan rumah tangga. Mencuci, memasak, menyapu dilakukannya sendiri, sementara tugas istrinya hanya melahirkan, menyusui dan merawat anak. Itulah salah satu cara untuk memuliakan perempuan. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah jika perempuan itu sendiri yang tidak mau memaksimalkan potensinya untuk menjadi lebih baik, ataukah larut dalam hegemoni media.
Ditambah lagi dengan wacana feminisme barat yang mau menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan. misalnya laki-laki suka merokok, perempuanpun bisa melakukan itu,atau hal-hal lain yang dilakukan oleh laki-laki bisa juga dilakukan oleh perempuan.
Pada dasarnya memang tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, hanya saja feminisme barat lupa terhadap kodrat-kodrat lelaki dan perempuan serta norma-norma yang ada, Dimana kecendrungan perempuan itu pada sisi kelembutan sementara kecendrungan laki-laki pada sisi kebijaksanaan dan keagungannya.
Jauh sebelum feminisme barat berkumandang tentang kesetaraan gender, baik itu yang tercatat di sejarah nusantara maupun yang tercatat di sejarah subnusantara (bugis makassar) sudah ada kesetaraan gender yang melampaui kesetaraan yang dipahami atau dianut dunia barat. Jadi perempuan dalam masa ini tidak boleh terjebak terhadap hegemoni dunia tentang kesetaraan membuat dirinya sendiri didominasi oleh kesetaraan yang dangkal, misalnya perempuan ingin cantik atau berkarir bukan karena kodratnya melainkan hasrat karena merasa didominasi oleh kaum yang lain. (Penulis: A.Chajangga)
(buletin azzahra edisi 6 juni 2011)

0 komentar:

Posting Komentar

Minggu, 17 Juli 2011

The Women

Perempuan, makhluk ciptaan Tuhan yang lembut dan memiliki sejuta daya tarik. KeAnggunan dan ka Ayuannya mampu menggoyahkan dan meruntuhkan iman lawan jenisnya, juga dianggap sebagai tiang suatu negara. Tak heran jika banyak kaum kapitalisme yang memanfaatkanitu untuk dijadikan sebagai barang dagang.
Perempuan kini telah dianiayah oleh zaman, dibentuk menjadi sebuah
karakter yang lemah, dihegemoni dengan alasan trend dan modernisasi, menjadi sosok yang tak lagi memperdulikan moral maupun etika keperempuanan, dan tak sedikit pula perempuan yang menikmati penganiayaan itu secara tidak langsung. Sekedar dikatakan gaul dan mereka dengan bangga mengikuti semua hegemoni yang dilemparkan media.
Yang cantik adalah yang seksi pamer sana sini aurat. Ironis jika hal ini terus dibiarkan, perempuan harus mampu mengontrol dan memfilter segala jenis budaya baru yang mencoba masuk dan merubah paradigma masyarakat. Islam sebagai ideologi kita sangat melarang itu, dan jauh sebelumnya,budaya bugis-makassar telah mengajarkan tentang bagaimana memperlakukan perempuan. Misalnya mengkhususkan ruangan tengah di rumah untuk para perempuan sebagai bentuk menjaganya, bahkan dalam ritual pernikahan, laki-laki tidak boleh melihat perempuan sebelum ijab kabul. Adapun mengenai wilayah kerja antara laki-laki dengan perempuan lebih pada pembagian peran satu sama lain, misalnya perempuan di dapur, dan laki-laki yang keluar rumah mencari nafkah. Laki-laki yang senantiasa mengambil peran di luar karena sudah menjadi tanggung jawab seorang laki-laki untuk menafkahi istrinya, tanpa membatasi ruang gerak perempuan itu sendiri. Perempuan pun bisa mengambil peran-peran sosial, dan jauh sebelumnya dalam sejarah bugis-makassar telah ada beberapa tokoh perempuan, seperti Tumanurung ri Gowa,to manurung ri goarie (soppeng), we cuddai besse kajuara (ratu bone), colliq pujie (ratu pancana barru), opu daeng risaju (luwu), Hj.A.Ninnong (ranreng tuwa wajo), Hj.A. Depu (ratu balanipa Mandar).
Begitupun dalam tatanan nasional, telah banyak perempuan yang menjadi tokoh perempuan, seperti Nyi Ageng Serang, cut nyak dien dari aceh yang tak larut dalam kesedihan atas meninggalnya suaminya di medan perang, tapi bangkit dan melanjutkan perjuangan suaminya, begitupun dengan Dewi Sartika, atau yang paling banyak kenal RA. Kartini. Ini yang menjadi beberapa contoh bahwa perempuan itu bukanlah makhluk lemah yang hanya mampu bersembunyi dibalik kelembutannya. Perempuan juga bukan makhluk domestik yang keindahannya bisa dijual untuk kepentingan pasar. Seperti yang dicontohkanoleh seorang tokoh revolusi islam ayatullah khomaeni dalam memperlakukan istrinya yang memerdekakannya dalam setiap pekerjaan rumah tangga. Mencuci, memasak, menyapu dilakukannya sendiri, sementara tugas istrinya hanya melahirkan, menyusui dan merawat anak. Itulah salah satu cara untuk memuliakan perempuan. Yang menjadi permasalahan sekarang adalah jika perempuan itu sendiri yang tidak mau memaksimalkan potensinya untuk menjadi lebih baik, ataukah larut dalam hegemoni media.
Ditambah lagi dengan wacana feminisme barat yang mau menyamaratakan antara laki-laki dan perempuan. misalnya laki-laki suka merokok, perempuanpun bisa melakukan itu,atau hal-hal lain yang dilakukan oleh laki-laki bisa juga dilakukan oleh perempuan.
Pada dasarnya memang tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan, hanya saja feminisme barat lupa terhadap kodrat-kodrat lelaki dan perempuan serta norma-norma yang ada, Dimana kecendrungan perempuan itu pada sisi kelembutan sementara kecendrungan laki-laki pada sisi kebijaksanaan dan keagungannya.
Jauh sebelum feminisme barat berkumandang tentang kesetaraan gender, baik itu yang tercatat di sejarah nusantara maupun yang tercatat di sejarah subnusantara (bugis makassar) sudah ada kesetaraan gender yang melampaui kesetaraan yang dipahami atau dianut dunia barat. Jadi perempuan dalam masa ini tidak boleh terjebak terhadap hegemoni dunia tentang kesetaraan membuat dirinya sendiri didominasi oleh kesetaraan yang dangkal, misalnya perempuan ingin cantik atau berkarir bukan karena kodratnya melainkan hasrat karena merasa didominasi oleh kaum yang lain. (Penulis: A.Chajangga)
(buletin azzahra edisi 6 juni 2011)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar