Perempuan; Pendidikan Sebagai Panggilan Ontologis

Minggu, 17 Februari 2013



Setiap agama, pergerakan, atau pun revolusi terdiri atas unsur kearifan dan cinta. Kearifan berarti gerakan dan cinta berarti cahaya. Cahaya memberi akal sehat dan pengertian serta kearifan memberikan kekuatan, antusiasme dan gerakan itu sendiri. Gerakan menjadi metode dalam mewujudkan suatu tatanan yang diharapkan dan akal sehat serta pengertian merumuskan tujuan yang ingin dicapai. Akal sehat yang dimaksud bukanlah sebagaimana asumsi umum bahwa kualitas akal pria
lebih tinggi dari akal perempuan. Sebuah asumsi yang harus kita koreksi agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam statement yang memiliki rujukan multitafsir. Sebagaimana arahan konsep pendidikan pada dewasa ini yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 namun seakan menghamba untuk kepentingan tertentu. Konsep pendidikan haruslah memiliki kedua unsur ini, unsur kearifan dan cinta. Unsur yang tidak memiliki keterpisahan walaupun penyebutannya secara terpisah. Pendidikan bukanlah semata jenjang-jenjang sekolah formal seperti yang diwajibkan oleh negara.

Pendidikan bukan hanya menjadi tanggungjawab kaum pria, tetapi juga tanggungjawab perempuan. Pendidikan tidak lagi seperti pandangan masa lalu dalam sejarah pergerakan perempuan di mana kaum perempuan memiliki hak minoritas untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan tidak diperuntukkan bagi pria saja atau perempuan saja. Tapi pendidikan adalah hak setiap manusia yang sebenarnya memiliki substansi yang sama, tidak mendasarkan pada perbedaan secara fisik, melainkan pada ruh-nya. Senada dengan pandangan sufisme yang mengutamakan dunia spiritual ketimbang dunia material. Yang secara ontologis dunia spiritual lebih hakiki dan riil dibanding dunia material.
Ketika dewasa ini yang masyarakat dihegemoni tentang pendidikan yang berkualitas haruslah menempung jenjang pendidikan setinggi mungkin, menyekolahkan anak-anak pada sekolah berlabel unggulan dengan biaya selangit, mengikutsertakan pada program kursus ini dan itu, sarana penunjang pendidikan pun harus mengacu pada teknologi mutakhir yang rilis paling akhir,serta masih banyak lagi kualifikasi yang disyaratka. Dan disaat yang bersamaan ketika sekelompok masyarakat kelas atas memenuhi keinginan alat penunjang pendidikan yang menurut mereka mampu memenuhi kebutuhan, ada masyarakat   kelas bawah yang pontang-panting mengejar ketertinggalan. Entah mereka mampu mengejar    atau tidak, entah mereka akan jalan ditempat, atau bahkan mereka akan tersingkir dari kompetisi memenuhi keinginan materil demi sebuah label yang disebut ‘pendidikan’.
Lantas, apa yang menjadi peran kaum perempuan sebagai ibu bagi kehidupan?
Ketika individu berpegang pada pandangan material dan menyandarkan segala tujuan hanya untuk memenuhi keinginan akan benda-benda, keinginan akan kekuasaan, keinginan akan pengakuan, serta segala macam label, maka kita akan terjebak untuk terus memenuhi keinginan-keinginan tersebut. Terpenjaralah individu pada tujuan pendidikan yang semata untuk meraih gelar yang tak hanya satu, mencari pekerjaan, menginginkan jabatan yang hanya untuk kesenangan pribadi dan kelompoknya.
Dalam perspektif studi perempuan, perempuan sebagai ibu kehidupan memiliki peran yang signifikan dan tanggung jawab terkait kondisi yang terjadi dalam lingkup suatu bangsa.Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa “Akal perempuan terletak pada kecantikannya dan ketampanan pria terletak pada akal-nya.”, maka hakikat keindahan mereka terletak pada akalnya yang dapat membuat mereka menghamba pada Sang Pencipta. Akal yang dimaksud adalah sekumpulan pengetahuan dan perwujudannya dalam bentuk amal perbuatan. Sebuah penjelasan akan akal teoritis. Akal menjadi sebuah sarana dalam mengatahui, memahami kebenaran, dan mengamalkannya. Karena akal perempuan terletak pada kecantikannya, kecantikan yang dimaksud pun bukanlah kecantikan yang hanya dilekatkan pada fisik semata, tetapi kecantikan akhlaki yang secara bersamaan akan menciptakan kecantikan fisik tersebut, maka segala kecantikan itu akan terwujud dalam pergerakan yang harus dilakukannya. Ketika ia telah selesai pada tahapan mengetahui, memahami kebenaran, maka ilmu menjadi sarana untuk mengantarkan kita untuk berbuat amal. Oleh sebab itu pendidikan seharusnya mengarahkan kita untuk tidak menghamba pada hal-hal yang sifatnya materil.
Dalam membangun peradaban suatu bangsa, perempuan memiliki peran yang cukup besar. Mereka adalah pemimpin yang melahirkan pemimpin yang akan hadir sebagai penentu kebijakan. Dari rahim seorang perempuan, lahirlah para nabi yang konon di beberapa literatur bahkan Nabi Adam as pun dilahirkan. Perempuan yang dilimpahi sifat kelemah lembutan, kasih sayang, haruslah mempersiapkan rahimnya. Perempuan bukanlah pewaris pasif dari pertumbuhan dan pembangunan sosial. Sebagaimana pria, perempuan juga membutuhkan pengajaran, pendidikan, dan bimbingan serta kesucian. Kebutuhan akan pengajaran, pendidikan bahkan bimbingan sebenarnya tidak untuk memenuhi kebutuhan fisik dari manusia, tetapi untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Maka, untuk melahirkan manusia berkualitas dari Rahim seorang perempuan, dibutuhkan kesempurnaan pengetahuan akan kualitas tersebut. Ketika mereka tak memiliki pengetahuan, arah tumbuh kembang generasi suatu bangsa yakinlah akan jatuh pada lembah terjauh dari Pencipta-Nya. Jika ibu mengetahui bahwa pikirannya akan dapat berpengaruh pada anaknya, maka ia haruslah memperbaiki dirinya sendiri dan anaknya. Sebagaimana yang ditegaskan secara khusus dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15 tentang tugas pendidikan yang menjadi tanggung jawab ibu dan yang tidak dapat dilakukan oleh bapak.
Meminjam istilah Paulo Freire menurut Agus Nuryatno dalam buku Mazham Pendidikan Kritis meyebut “panggilan ontologis”, maka peran perempuan merupakan sebuah panggilan akan sebuah eksistensi.Perempuan sebagai pendidik dan pencipta iklim pendidikan di madrasah pertama bagi anaknya haruslah atas dasar ketakwaannya memenuhi tanggung jawab sosialnya dan sebagai tanggung jawab spiritualnya.(penulis Nurul Fajri)

1 komentar:

Anonim mengatakan...

follow back blog ane gan, http://redanorak.blogspot.com ane udah follow nih hehe...

Posting Komentar

Minggu, 17 Februari 2013

Perempuan; Pendidikan Sebagai Panggilan Ontologis



Setiap agama, pergerakan, atau pun revolusi terdiri atas unsur kearifan dan cinta. Kearifan berarti gerakan dan cinta berarti cahaya. Cahaya memberi akal sehat dan pengertian serta kearifan memberikan kekuatan, antusiasme dan gerakan itu sendiri. Gerakan menjadi metode dalam mewujudkan suatu tatanan yang diharapkan dan akal sehat serta pengertian merumuskan tujuan yang ingin dicapai. Akal sehat yang dimaksud bukanlah sebagaimana asumsi umum bahwa kualitas akal pria
lebih tinggi dari akal perempuan. Sebuah asumsi yang harus kita koreksi agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam statement yang memiliki rujukan multitafsir. Sebagaimana arahan konsep pendidikan pada dewasa ini yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 namun seakan menghamba untuk kepentingan tertentu. Konsep pendidikan haruslah memiliki kedua unsur ini, unsur kearifan dan cinta. Unsur yang tidak memiliki keterpisahan walaupun penyebutannya secara terpisah. Pendidikan bukanlah semata jenjang-jenjang sekolah formal seperti yang diwajibkan oleh negara.

Pendidikan bukan hanya menjadi tanggungjawab kaum pria, tetapi juga tanggungjawab perempuan. Pendidikan tidak lagi seperti pandangan masa lalu dalam sejarah pergerakan perempuan di mana kaum perempuan memiliki hak minoritas untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan tidak diperuntukkan bagi pria saja atau perempuan saja. Tapi pendidikan adalah hak setiap manusia yang sebenarnya memiliki substansi yang sama, tidak mendasarkan pada perbedaan secara fisik, melainkan pada ruh-nya. Senada dengan pandangan sufisme yang mengutamakan dunia spiritual ketimbang dunia material. Yang secara ontologis dunia spiritual lebih hakiki dan riil dibanding dunia material.
Ketika dewasa ini yang masyarakat dihegemoni tentang pendidikan yang berkualitas haruslah menempung jenjang pendidikan setinggi mungkin, menyekolahkan anak-anak pada sekolah berlabel unggulan dengan biaya selangit, mengikutsertakan pada program kursus ini dan itu, sarana penunjang pendidikan pun harus mengacu pada teknologi mutakhir yang rilis paling akhir,serta masih banyak lagi kualifikasi yang disyaratka. Dan disaat yang bersamaan ketika sekelompok masyarakat kelas atas memenuhi keinginan alat penunjang pendidikan yang menurut mereka mampu memenuhi kebutuhan, ada masyarakat   kelas bawah yang pontang-panting mengejar ketertinggalan. Entah mereka mampu mengejar    atau tidak, entah mereka akan jalan ditempat, atau bahkan mereka akan tersingkir dari kompetisi memenuhi keinginan materil demi sebuah label yang disebut ‘pendidikan’.
Lantas, apa yang menjadi peran kaum perempuan sebagai ibu bagi kehidupan?
Ketika individu berpegang pada pandangan material dan menyandarkan segala tujuan hanya untuk memenuhi keinginan akan benda-benda, keinginan akan kekuasaan, keinginan akan pengakuan, serta segala macam label, maka kita akan terjebak untuk terus memenuhi keinginan-keinginan tersebut. Terpenjaralah individu pada tujuan pendidikan yang semata untuk meraih gelar yang tak hanya satu, mencari pekerjaan, menginginkan jabatan yang hanya untuk kesenangan pribadi dan kelompoknya.
Dalam perspektif studi perempuan, perempuan sebagai ibu kehidupan memiliki peran yang signifikan dan tanggung jawab terkait kondisi yang terjadi dalam lingkup suatu bangsa.Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa “Akal perempuan terletak pada kecantikannya dan ketampanan pria terletak pada akal-nya.”, maka hakikat keindahan mereka terletak pada akalnya yang dapat membuat mereka menghamba pada Sang Pencipta. Akal yang dimaksud adalah sekumpulan pengetahuan dan perwujudannya dalam bentuk amal perbuatan. Sebuah penjelasan akan akal teoritis. Akal menjadi sebuah sarana dalam mengatahui, memahami kebenaran, dan mengamalkannya. Karena akal perempuan terletak pada kecantikannya, kecantikan yang dimaksud pun bukanlah kecantikan yang hanya dilekatkan pada fisik semata, tetapi kecantikan akhlaki yang secara bersamaan akan menciptakan kecantikan fisik tersebut, maka segala kecantikan itu akan terwujud dalam pergerakan yang harus dilakukannya. Ketika ia telah selesai pada tahapan mengetahui, memahami kebenaran, maka ilmu menjadi sarana untuk mengantarkan kita untuk berbuat amal. Oleh sebab itu pendidikan seharusnya mengarahkan kita untuk tidak menghamba pada hal-hal yang sifatnya materil.
Dalam membangun peradaban suatu bangsa, perempuan memiliki peran yang cukup besar. Mereka adalah pemimpin yang melahirkan pemimpin yang akan hadir sebagai penentu kebijakan. Dari rahim seorang perempuan, lahirlah para nabi yang konon di beberapa literatur bahkan Nabi Adam as pun dilahirkan. Perempuan yang dilimpahi sifat kelemah lembutan, kasih sayang, haruslah mempersiapkan rahimnya. Perempuan bukanlah pewaris pasif dari pertumbuhan dan pembangunan sosial. Sebagaimana pria, perempuan juga membutuhkan pengajaran, pendidikan, dan bimbingan serta kesucian. Kebutuhan akan pengajaran, pendidikan bahkan bimbingan sebenarnya tidak untuk memenuhi kebutuhan fisik dari manusia, tetapi untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Maka, untuk melahirkan manusia berkualitas dari Rahim seorang perempuan, dibutuhkan kesempurnaan pengetahuan akan kualitas tersebut. Ketika mereka tak memiliki pengetahuan, arah tumbuh kembang generasi suatu bangsa yakinlah akan jatuh pada lembah terjauh dari Pencipta-Nya. Jika ibu mengetahui bahwa pikirannya akan dapat berpengaruh pada anaknya, maka ia haruslah memperbaiki dirinya sendiri dan anaknya. Sebagaimana yang ditegaskan secara khusus dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15 tentang tugas pendidikan yang menjadi tanggung jawab ibu dan yang tidak dapat dilakukan oleh bapak.
Meminjam istilah Paulo Freire menurut Agus Nuryatno dalam buku Mazham Pendidikan Kritis meyebut “panggilan ontologis”, maka peran perempuan merupakan sebuah panggilan akan sebuah eksistensi.Perempuan sebagai pendidik dan pencipta iklim pendidikan di madrasah pertama bagi anaknya haruslah atas dasar ketakwaannya memenuhi tanggung jawab sosialnya dan sebagai tanggung jawab spiritualnya.(penulis Nurul Fajri)

1 komentar: