Setiap
agama, pergerakan, atau pun revolusi terdiri atas unsur kearifan dan cinta.
Kearifan berarti gerakan dan cinta berarti cahaya. Cahaya memberi akal sehat
dan pengertian serta kearifan memberikan kekuatan, antusiasme dan gerakan itu
sendiri. Gerakan menjadi metode dalam mewujudkan suatu tatanan yang diharapkan
dan akal sehat serta pengertian merumuskan tujuan yang ingin dicapai. Akal
sehat yang dimaksud bukanlah sebagaimana asumsi umum bahwa kualitas akal pria
lebih tinggi dari akal perempuan. Sebuah asumsi yang harus kita koreksi agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam statement yang memiliki rujukan multitafsir. Sebagaimana arahan konsep pendidikan pada dewasa ini yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 namun seakan menghamba untuk kepentingan tertentu. Konsep pendidikan haruslah memiliki kedua unsur ini, unsur kearifan dan cinta. Unsur yang tidak memiliki keterpisahan walaupun penyebutannya secara terpisah. Pendidikan bukanlah semata jenjang-jenjang sekolah formal seperti yang diwajibkan oleh negara.
lebih tinggi dari akal perempuan. Sebuah asumsi yang harus kita koreksi agar masyarakat tidak mudah terjebak dalam statement yang memiliki rujukan multitafsir. Sebagaimana arahan konsep pendidikan pada dewasa ini yang bertujuan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sesuai dengan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 namun seakan menghamba untuk kepentingan tertentu. Konsep pendidikan haruslah memiliki kedua unsur ini, unsur kearifan dan cinta. Unsur yang tidak memiliki keterpisahan walaupun penyebutannya secara terpisah. Pendidikan bukanlah semata jenjang-jenjang sekolah formal seperti yang diwajibkan oleh negara.
Pendidikan
bukan hanya menjadi tanggungjawab kaum pria, tetapi juga
tanggungjawab perempuan. Pendidikan tidak lagi seperti pandangan masa lalu
dalam sejarah pergerakan perempuan di mana kaum perempuan memiliki hak
minoritas untuk mendapatkan pendidikan. Pendidikan tidak diperuntukkan bagi pria
saja atau perempuan saja. Tapi pendidikan adalah hak setiap manusia yang
sebenarnya memiliki substansi yang sama, tidak mendasarkan pada perbedaan
secara fisik, melainkan pada ruh-nya. Senada dengan pandangan sufisme yang
mengutamakan dunia spiritual ketimbang dunia material. Yang secara ontologis
dunia spiritual lebih hakiki dan riil dibanding dunia material.
Ketika dewasa ini yang masyarakat dihegemoni
tentang pendidikan yang berkualitas haruslah menempung jenjang pendidikan
setinggi mungkin, menyekolahkan anak-anak pada sekolah berlabel unggulan dengan
biaya selangit, mengikutsertakan pada program kursus ini dan itu, sarana
penunjang pendidikan pun harus mengacu pada teknologi mutakhir yang rilis
paling akhir,serta masih banyak lagi kualifikasi yang disyaratka. Dan disaat
yang bersamaan ketika sekelompok masyarakat kelas atas memenuhi keinginan alat
penunjang pendidikan yang menurut mereka mampu memenuhi kebutuhan, ada masyarakat
kelas bawah yang pontang-panting
mengejar ketertinggalan. Entah mereka mampu mengejar atau tidak, entah mereka akan jalan
ditempat, atau bahkan mereka akan tersingkir dari kompetisi memenuhi keinginan
materil demi sebuah label yang disebut ‘pendidikan’.
Lantas, apa yang menjadi peran kaum perempuan
sebagai ibu bagi kehidupan?
Ketika
individu berpegang pada pandangan material dan menyandarkan segala tujuan hanya
untuk memenuhi keinginan akan benda-benda, keinginan akan kekuasaan, keinginan
akan pengakuan, serta segala macam label, maka kita akan terjebak untuk terus memenuhi
keinginan-keinginan tersebut. Terpenjaralah individu pada tujuan pendidikan
yang semata untuk meraih gelar yang tak hanya satu, mencari pekerjaan, menginginkan
jabatan yang hanya untuk kesenangan pribadi dan kelompoknya.
Dalam
perspektif studi perempuan, perempuan sebagai ibu kehidupan memiliki peran yang
signifikan dan tanggung jawab terkait kondisi yang terjadi dalam lingkup suatu
bangsa.Diriwayatkan dalam sebuah hadis bahwa “Akal perempuan terletak pada kecantikannya dan ketampanan pria terletak
pada akal-nya.”, maka hakikat
keindahan mereka terletak pada akalnya yang dapat membuat mereka menghamba pada
Sang Pencipta. Akal yang dimaksud adalah sekumpulan pengetahuan dan
perwujudannya dalam bentuk amal perbuatan. Sebuah penjelasan akan akal teoritis.
Akal menjadi sebuah sarana dalam mengatahui, memahami kebenaran, dan
mengamalkannya. Karena akal perempuan terletak pada kecantikannya, kecantikan
yang dimaksud pun bukanlah kecantikan yang hanya dilekatkan pada fisik semata,
tetapi kecantikan akhlaki yang secara bersamaan akan menciptakan kecantikan
fisik tersebut, maka segala kecantikan itu akan terwujud dalam pergerakan yang
harus dilakukannya. Ketika ia telah selesai pada tahapan mengetahui, memahami
kebenaran, maka ilmu menjadi sarana untuk mengantarkan kita untuk berbuat amal.
Oleh sebab itu pendidikan seharusnya mengarahkan kita untuk tidak menghamba
pada hal-hal yang sifatnya materil.
Dalam
membangun peradaban suatu bangsa, perempuan memiliki peran yang cukup besar.
Mereka adalah pemimpin yang melahirkan pemimpin yang akan hadir sebagai penentu
kebijakan. Dari rahim seorang perempuan, lahirlah para nabi yang konon di
beberapa literatur bahkan Nabi Adam as pun dilahirkan. Perempuan yang dilimpahi
sifat kelemah lembutan, kasih sayang, haruslah mempersiapkan rahimnya.
Perempuan bukanlah pewaris pasif dari pertumbuhan dan pembangunan sosial.
Sebagaimana pria, perempuan juga membutuhkan pengajaran, pendidikan, dan
bimbingan serta kesucian. Kebutuhan akan pengajaran, pendidikan bahkan
bimbingan sebenarnya tidak untuk memenuhi kebutuhan fisik dari manusia, tetapi
untuk memenuhi kebutuhan jiwa. Maka, untuk melahirkan manusia berkualitas dari
Rahim seorang perempuan, dibutuhkan kesempurnaan pengetahuan akan kualitas
tersebut. Ketika mereka tak memiliki pengetahuan, arah tumbuh kembang generasi
suatu bangsa yakinlah akan jatuh pada lembah terjauh dari Pencipta-Nya. Jika
ibu mengetahui bahwa pikirannya akan dapat berpengaruh pada anaknya, maka ia
haruslah memperbaiki dirinya sendiri dan anaknya. Sebagaimana yang ditegaskan
secara khusus dalam Surah Al-Ahqaf ayat 15 tentang tugas pendidikan yang menjadi
tanggung jawab ibu dan yang tidak dapat dilakukan oleh bapak.
Meminjam istilah Paulo Freire menurut Agus
Nuryatno dalam buku Mazham Pendidikan Kritis meyebut “panggilan ontologis”,
maka peran perempuan merupakan sebuah panggilan akan sebuah
eksistensi.Perempuan sebagai pendidik dan pencipta iklim pendidikan di madrasah
pertama bagi anaknya haruslah atas dasar ketakwaannya memenuhi tanggung jawab
sosialnya dan sebagai tanggung jawab spiritualnya.(penulis Nurul Fajri)
follow back blog ane gan, http://redanorak.blogspot.com ane udah follow nih hehe...
BalasHapus