PEREMPUAN DALAM LINGKAR HEGEMONI BUDAYA DAN MEDIA

Rabu, 14 Desember 2011

Budaya didefinisikan sebagai suatu cipta, rasa, juga karsa dan kerap kali disebut kebiasaan yang dikonstruk kemudian diterima oleh sekelompok orang di wilayah tertentu. Media adalah alat atau  sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk sebagai pemberi informasi kepada masyarakat dan sebagai perantara dari satu pihak ke pihak lainnya.
 
Objek pembicaraan tentang perempuan adalah hal yang selalu menarik. Banyak pandangan  lama yang bias, kemudian masih saja dijadikan rujukan oleh beberapa orang tuk mendiskreditkan posisi perempuan sebagai
makhluk sosial. Masih akrab di telinga kita jargon-jargon seperti: Perempuan tak boleh eksis di ranah publik, perempuan harusnya bekerja di rumah saja mengurus urusan rumah tangga dan hal-hal diskriminatif lainnya.
         Hal ini merupakan konstruksi budaya sosial patriarki yang mengakar di bumi Indonesia dan di belahan negara lain, di mana pada zaman dulu idealnya keadaan dianggap etis ketika di suatu institusi rumah tangga, perempuan bekerja mengurus rumah tangga dan laki-laki yang bekerja di luar. Contoh pandangan lain yang bias adalah bahwa: Perempuan juga tidak boleh keluar malam, dengan alasan  berbahaya bagi keamanan perempuan. Hal tersebut hanyalah sebagian kecil contoh kasus, faktanya masih banyak lagi konstruk budaya kita yang cenderung memarjinalkan perempuan. Meskipun telah ada perempuan kita yang dipandang sebagai manusia multidimensional  (tidak hanya dianggap sebagai ratu `domestik`), namun hingga kini, citra perempuan di ruang privat masih berkisar pada dapur, sumur, kasur pun masih dijadikan rujukan berargumen orang-orang awam. Dalam kerangka gerakan feminis, aktivis perempuan ingin membuktikan bahwa dirinya bisa terjun ke ranah publik dalam rangka kemarjinalan perempuan yaitu dengan menyetarakan posisi perempuan dengan laki-laki. Namun ketika terjun ke ranah publik, perempuan justru memarjinalkan dirinya. Padahal pada hakikatnya perempuan dan laki-laki adalah setara pada wilayah publik dan domestik tanpa harus mengurangi atau menambah hak keduanya. Juga bukan berarti berlakunya kesempatan dan hak seseorang itu bergantung pada seksualitas (biologis)-nya sebagai perempuan atau laki-laki. Hal yang perlu dipahami adalah keadilan gender merupakan suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki.

Kesetaraan dan keadilan gender adalah agenda agar perempuan dan laki-laki dapat menikmati status yang sama, berada dalam kondisi hidup dan mendapat kesempatan yang sama untuk merealisasikan potensi dan hak asasinya. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan dapat sama-sama berkontribusi secara seimbang dan optimal dalam pembangunan politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Serta pelu kita ingat adalah perempuan dan laki-laki harus diletakkan secara proporsional karena laki-laki dan perempuan saling membutuhkan, saling melengkapi. Secara lebih khusus, itu menunjukkan bahwa kesempurnaan laki-laki terletak pada pada perempuan dan kesempurnaan perempuan pun terletak pada laki-laki.  “mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah [2] ayat 187)
Dalam upaya propaganda pendiskreditan perempuan, media memiliki peranan substansial. Perempuan secara tidak sadar kerap kali menjadi instrumen eksploitasi untuk kepentingan penjualan produk bagi kaum pemodal. Kita dapat melihat dalam media iklan dimana selalu ada pemeran perempuan di dalamnya, bahkan untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan. Misalnya saja perempuan dengan sepeda motor, kopi, dan lain sebagainya. Ini semua karena di Era ekonomi kapitalisme modern ini, fungsi tubuh perempuan makin bergeser dari fungsi organis/biologis/reproduktif ke arah fungsi ekonomi. Tubuh dan hasrat dipergunakan sebagai titik sentral produk, yang disebut dengan `ekonomi libido`.
Ada empat citra perempuan yang dibangun oleh media yaitu pertama, Citra piguran yaitu di mana iklan selalu menampakkan sisi biologis perempuan. Misalnya saja iklan sabun mandi, hand & body lotion, lulur mandi, dan perlengkapan kosmetik lainnya. Kedua, Citra pilar yaitu di mana perempuan disorot sebagai tulang punggung keluarga, keapikan fisiknya, pengelolaan sumber daya keluarga, perempuan yang bijak, ibu sebagai guru dll. Misalnya iklan susu Dancow. Ketiga, Citra pinggan di mana media melekatkan perempuan pada area dapur misalnya masako, sasa, dll. Keempat, Citra pergaulan di mana pergulatan perempuan pada kelas-kelas sosial citra pergaulan. Perempuan memiliki kelas-kelas sosial tersendiri. Misalnya handphone, motor automatic.
Pengeskploitasian perempuan berawal dari pihak yang berkepentingan, ideologi kelas dominan, yakni materialisme di mana kepentingannya itu adalah profit. Melalui media, cara pandang masyarakat diseragamkan dengan menetapkan sampel kecantikan. Masyarakat tak menyadari  adanya hegemoni yang dilakukan oleh pihak kapitalis. Dimana awalnya masyarakat yang menginginkan menjadi sosok yang sempurna dan menjadi idola  melalui media itu mengikuti apa yang dia tanggkap tersebut, setelah itu masyarakat akan mengunakan bahkan rutin mengikuti apa yang disampaikan media sehingga membentuk ideologi bahwa itu memang benar dan baik untuk diikuti agar kita dapat seperti apa yang digambarkan media.  
Media memiliki kuasa mengatur cara hidup masyarakat dan menjadi ikon-ikon. Banyak perempuan dan laki-laki yang terhegemoni pikirannya dan mengakui bahwa perempuan cantik itu adalah yang berbadan tinggi, berkulit putih, berambut panjang dan lurus, layaknya Barbie. Pemilik modal melalui media mempropagandakan produk-produk mereka. Fakta kasus misalnya berbicara tentang ‘PONDS’. Ponds dianggap berfungsi untuk memutihkan kulit dan diperuntukkan kepada mereka yang tergiur dengan kulit putih. Target konsumen produk ini adalah orang-orang yang kemudian tergiur dengan istilah ‘becoming white’ seperti masyarakat Indonesia. Dengan segera berbondong-bondonglah mereka berburu produk-produk kapitalisme. Kasihan!
Sangat sulit mengeluarkan perempuan dari penjara budaya dan media. Di mana di suatu sisi pihak materialis sudah sangat lama menancapkan jeruji-jeruji ini yang semakin lama semakin susah untuk mengeluarkan kita dari penjara, yang tergembok pula oleh hegemoni mereka. Apakah kita akan tinggal diam di dalamnya ? Menunggu seorang pahlawan menghancurkan jeruji ini ? Ataukah kita sendiri yang akan membuka gembok hegemoni ini ? sebagai mahkluk merdeka, kita diberi pilihan untuk memilih. Agar kita dan perempuan-perempuan generasi kita tidak tergembok lagi.








1 komentar:

Buletin Azzahrah mengatakan...

semoga dapat lebih berkembang :)

Posting Komentar

Rabu, 14 Desember 2011

PEREMPUAN DALAM LINGKAR HEGEMONI BUDAYA DAN MEDIA

Budaya didefinisikan sebagai suatu cipta, rasa, juga karsa dan kerap kali disebut kebiasaan yang dikonstruk kemudian diterima oleh sekelompok orang di wilayah tertentu. Media adalah alat atau  sarana komunikasi seperti koran, majalah, radio, televisi, film, poster, dan spanduk sebagai pemberi informasi kepada masyarakat dan sebagai perantara dari satu pihak ke pihak lainnya.
 
Objek pembicaraan tentang perempuan adalah hal yang selalu menarik. Banyak pandangan  lama yang bias, kemudian masih saja dijadikan rujukan oleh beberapa orang tuk mendiskreditkan posisi perempuan sebagai
makhluk sosial. Masih akrab di telinga kita jargon-jargon seperti: Perempuan tak boleh eksis di ranah publik, perempuan harusnya bekerja di rumah saja mengurus urusan rumah tangga dan hal-hal diskriminatif lainnya.
         Hal ini merupakan konstruksi budaya sosial patriarki yang mengakar di bumi Indonesia dan di belahan negara lain, di mana pada zaman dulu idealnya keadaan dianggap etis ketika di suatu institusi rumah tangga, perempuan bekerja mengurus rumah tangga dan laki-laki yang bekerja di luar. Contoh pandangan lain yang bias adalah bahwa: Perempuan juga tidak boleh keluar malam, dengan alasan  berbahaya bagi keamanan perempuan. Hal tersebut hanyalah sebagian kecil contoh kasus, faktanya masih banyak lagi konstruk budaya kita yang cenderung memarjinalkan perempuan. Meskipun telah ada perempuan kita yang dipandang sebagai manusia multidimensional  (tidak hanya dianggap sebagai ratu `domestik`), namun hingga kini, citra perempuan di ruang privat masih berkisar pada dapur, sumur, kasur pun masih dijadikan rujukan berargumen orang-orang awam. Dalam kerangka gerakan feminis, aktivis perempuan ingin membuktikan bahwa dirinya bisa terjun ke ranah publik dalam rangka kemarjinalan perempuan yaitu dengan menyetarakan posisi perempuan dengan laki-laki. Namun ketika terjun ke ranah publik, perempuan justru memarjinalkan dirinya. Padahal pada hakikatnya perempuan dan laki-laki adalah setara pada wilayah publik dan domestik tanpa harus mengurangi atau menambah hak keduanya. Juga bukan berarti berlakunya kesempatan dan hak seseorang itu bergantung pada seksualitas (biologis)-nya sebagai perempuan atau laki-laki. Hal yang perlu dipahami adalah keadilan gender merupakan suatu kondisi dan perlakuan yang adil terhadap perempuan dan laki-laki.

Kesetaraan dan keadilan gender adalah agenda agar perempuan dan laki-laki dapat menikmati status yang sama, berada dalam kondisi hidup dan mendapat kesempatan yang sama untuk merealisasikan potensi dan hak asasinya. Dengan demikian, laki-laki dan perempuan dapat sama-sama berkontribusi secara seimbang dan optimal dalam pembangunan politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama. Serta pelu kita ingat adalah perempuan dan laki-laki harus diletakkan secara proporsional karena laki-laki dan perempuan saling membutuhkan, saling melengkapi. Secara lebih khusus, itu menunjukkan bahwa kesempurnaan laki-laki terletak pada pada perempuan dan kesempurnaan perempuan pun terletak pada laki-laki.  “mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka.” (QS Al-Baqarah [2] ayat 187)
Dalam upaya propaganda pendiskreditan perempuan, media memiliki peranan substansial. Perempuan secara tidak sadar kerap kali menjadi instrumen eksploitasi untuk kepentingan penjualan produk bagi kaum pemodal. Kita dapat melihat dalam media iklan dimana selalu ada pemeran perempuan di dalamnya, bahkan untuk hal-hal yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan perempuan. Misalnya saja perempuan dengan sepeda motor, kopi, dan lain sebagainya. Ini semua karena di Era ekonomi kapitalisme modern ini, fungsi tubuh perempuan makin bergeser dari fungsi organis/biologis/reproduktif ke arah fungsi ekonomi. Tubuh dan hasrat dipergunakan sebagai titik sentral produk, yang disebut dengan `ekonomi libido`.
Ada empat citra perempuan yang dibangun oleh media yaitu pertama, Citra piguran yaitu di mana iklan selalu menampakkan sisi biologis perempuan. Misalnya saja iklan sabun mandi, hand & body lotion, lulur mandi, dan perlengkapan kosmetik lainnya. Kedua, Citra pilar yaitu di mana perempuan disorot sebagai tulang punggung keluarga, keapikan fisiknya, pengelolaan sumber daya keluarga, perempuan yang bijak, ibu sebagai guru dll. Misalnya iklan susu Dancow. Ketiga, Citra pinggan di mana media melekatkan perempuan pada area dapur misalnya masako, sasa, dll. Keempat, Citra pergaulan di mana pergulatan perempuan pada kelas-kelas sosial citra pergaulan. Perempuan memiliki kelas-kelas sosial tersendiri. Misalnya handphone, motor automatic.
Pengeskploitasian perempuan berawal dari pihak yang berkepentingan, ideologi kelas dominan, yakni materialisme di mana kepentingannya itu adalah profit. Melalui media, cara pandang masyarakat diseragamkan dengan menetapkan sampel kecantikan. Masyarakat tak menyadari  adanya hegemoni yang dilakukan oleh pihak kapitalis. Dimana awalnya masyarakat yang menginginkan menjadi sosok yang sempurna dan menjadi idola  melalui media itu mengikuti apa yang dia tanggkap tersebut, setelah itu masyarakat akan mengunakan bahkan rutin mengikuti apa yang disampaikan media sehingga membentuk ideologi bahwa itu memang benar dan baik untuk diikuti agar kita dapat seperti apa yang digambarkan media.  
Media memiliki kuasa mengatur cara hidup masyarakat dan menjadi ikon-ikon. Banyak perempuan dan laki-laki yang terhegemoni pikirannya dan mengakui bahwa perempuan cantik itu adalah yang berbadan tinggi, berkulit putih, berambut panjang dan lurus, layaknya Barbie. Pemilik modal melalui media mempropagandakan produk-produk mereka. Fakta kasus misalnya berbicara tentang ‘PONDS’. Ponds dianggap berfungsi untuk memutihkan kulit dan diperuntukkan kepada mereka yang tergiur dengan kulit putih. Target konsumen produk ini adalah orang-orang yang kemudian tergiur dengan istilah ‘becoming white’ seperti masyarakat Indonesia. Dengan segera berbondong-bondonglah mereka berburu produk-produk kapitalisme. Kasihan!
Sangat sulit mengeluarkan perempuan dari penjara budaya dan media. Di mana di suatu sisi pihak materialis sudah sangat lama menancapkan jeruji-jeruji ini yang semakin lama semakin susah untuk mengeluarkan kita dari penjara, yang tergembok pula oleh hegemoni mereka. Apakah kita akan tinggal diam di dalamnya ? Menunggu seorang pahlawan menghancurkan jeruji ini ? Ataukah kita sendiri yang akan membuka gembok hegemoni ini ? sebagai mahkluk merdeka, kita diberi pilihan untuk memilih. Agar kita dan perempuan-perempuan generasi kita tidak tergembok lagi.








1 komentar: